Thursday, June 14, 2012

Antara Maestro, Llama, dan 80 Persen

Pelatih Jerman Joachim Loew memimpin latihan tim di Stadion Metalist, Kharkiv, Selasa (12/6/2012).

KHARKIV, KOMPAS.com - Pertemuan klasik yang sayang untuk dilewatkan. Ukraina beruntung menjadi tuan rumah pertemuan dua raksasa yang memiliki sejarah rivalitas abadi di lapangan hijau.

Final Piala Dunia 1974 mencatatkan dua maestro terbesar sepak bola saat itu. Dua kapten, Franz Beckenbauer memimpin Jerman, dan Johan Cruyff dengan pasukan Total Football-nya. Belanda harus kalah namun mereka membalas 14 tahun kemudian.

Adalah trio Belanda --Ruud Gullit, Frank Rijkaard, dan Marco van Basten-- di bawah nakhoda Rinus Michels. "Armada Kincir Angin" membenamkan Jerman di semifinal Euro 1988 dan membawa pulang trofi juara setelah melipat Uni Soviet di bawah komando Pelatih Valeriy Lobanovskyi.

Dua tahun berselang, duel dua negara legendaris itu berlanjut di perdelapan final Piala Dunia 1990. Insiden pada menit ke-22 membuat wasit mencabut kartu merah untuk Rudi Voeller dan Rijkaard. Sebelum keluar lapangan keduanya sempat beradu mulut.

Di pinggir lapangan, Rijkaard sempat mengirimkan ludah kepada Voeller yang dengan terkejut meraba rambut keritingnya. Untungnya, striker yang saat itu bermain untuk AS Roma dapat meredam emosinya dan tak termakan provokasi Rijkaard.

Namun, media Jerman lantas sinis menyebut Rijkaard sebagai Llama, fauna yang punya kebiasaan meludah.

Lima bulan setelahnya, Rijkaard meminta maaf ketika AC Milan bertemu dengan Roma di Serie-A.

"Saat itu saya salah. Tak ada maksud untuk melecehkan. Saya sangat menghormati Rudi Voeller. Setelah beberapa lama saya bertemu lagi dengannya dan meminta maaf. Saya senang ia menerimanya. Saya tak punya prasangka buruk apa pun terhadapnya. Kami bahkan sempat bersama membintangi iklan yang lucu beberapa tahun berselang," ucap Rijkaard.

Ia juga mengaku khilaf karena emosinya tengah meninggi akibat harus berpisah dengan sang istri jelang Piala Dunia 1990.

Rabu malam, Rijkaard dan Voeller tak akan bertemu di lapangan. Maklum saja, keduanya sudah gantung sepatu. Namun, memori panas keduanya telanjur melegenda.

UEFA mencatat Jerman berada di depan Belanda dalam tiga duel terakhir. "Die Mannschaft" menang sekali dan mencatatkan hasil imbang dua kali.

"De Oranje" sendiri mencatatkan kemenangan pamungkas sepuluh tahun lalu. Hebatnya, kemenangan 3-1 itu dicatatkan di depan publik Jerman di Gelsenkirchen.

Sementara, "Tim Panser" membukukan kemenangan terakhir ketiga berlaga uji coba di Hamburg, November 2011. Belanda disikat tiga gol tanpa balas.

Bundestrainer --pelatih Jerman-- Joachim Loew pun tak mau main-main dengan partai malam nanti.

"Partai legendaris sepanjang sejarah turnamen. Itu akan jadi laga menarik dan terbaik dalam 20-30 tahun ini," sebut Loew yang dikutip UEFA.

Ia sempat marah besar dan menghentikan latih tanding ringan di Stadion Metalist, Kharkiv, Selasa (12/6/2012), ketika Mats Hummels mengirimkan umpan yang buruk

"Delapan puluh persen tidak cukup. Kalian tak dapat melakukannya besok (hari ini). Kalau kalian hanya memberikan 800 persen, kita akan mendapatkan masalah. Kalian harus bermain seperti ketika di Hamburg!" ucap Loew keras kepada anak asuhnya.

Loew, seperti dikutip koran Jerman Bild, melihat performa armadanya belum seperti yang dinginkan. Dan ia ingin para pemain itu memberikan permainan seperti saat terakhir menyikat Belanda di Hamburg.

Permainan Jerman ketika melipat Portugal di partai perdana Euro 2012 menurut Loew belum seratus persen seperti yang diinginkannya.

Sementara Bert van Marwijk, pelatih Belanda, mengungkapkan tensi di pemusatan latihannya sedang meninggi menyusul kekalahan 0-1 dari Denmark.

Yang pasti, jika kedua tim legendaris itu bertemu dalam sebuah turnamen besar, pemenangnya akan mencium trofi jawaranya. Paling tidak, hal itu sudah dibuktikan di Piala Dunia 1974, Piala Eropa 1988, dan Piala Dunia 1990.


View the original article here

No comments:

Post a Comment